Sabtu, 28 November 2015

Jumat, 04 September 2015

Soe Hok Gie, Mahasiswa Kritis yang Humanis




16 December 1969, dua orang mahasiswa UI, Indonesia menghembuskan nafas terahir dihening dan dinginya puncak gunung tertinggi di pulau jawa indonesia, Gunung Semeru, setelah menghirup gas beracun. salah satu mahaiswa itu bernama Soe Hok Gie.
Soe hok Gie meninggal tepat sehari sebelum merayakan hari ulang tahunnya yang ke 27 tahun.
Gie telah menorehkan catatan penting pergerakan mahasiswa indonesia, dan banyak yang menyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru. Tulisan dan pemikiranya yang sangat tajam dan berani, hingga saat ini dia menjadi symbol pergerakan Mahasiswa indonesia.

Soe Hok Gie adalah warga keturunan Tionghoa, walaupun dirinya adalah warga keturunan, dia mencintai tanah airnya dengan sangat luar biasa. Gie lahir pada 17 Desember 1942. Ayahnya bernama Soe Lie Pit alias Salam Sutrawan, seorang Novelis, dan ibunya bernama Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara, sejak kecil Gie sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta, bahkan dia sejak SD sudah melahap sastra-sastra berat seperti kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —yang jaman itu cukup didapatkan.

Darah menulis sang Ayah mengalir di tubuh Soe Hok Gie,  dia selalu menuliskan catatan harianya, tentang hari-hari panjang demonstrasi yang dilalui, tentang kehidupanya, cinta dan humanisme serta pemikiranya kedalam buku harian yang kemudian buku tersebut diterbitkan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”. Gie dikenal sebagai penulis produktif dibeberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira hanya sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995). Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan

Banyak tulisan-tulisan Gie yang mengkritisi pembantaian kejam kepada aktivis PKI yang saat itu besar-besaran tanpa melalui peradilan paska G30SPKI, seakan Anggota PKI halal untuk dibunuh. Saat banyak orang seolah ‘merestui’ pembantaian itu terjadi, Gie justru menolak dengan kritis melalui tulisanya, bahkan tak sedikit yang mengangap dia adalah komunis, tapi sebenarnya bukan, dia adalah sosok humanis, dia tidak bisa melihat ketidakadilan dan penderitaan didepan matanya, tidak hanya kepada manusia juga kepada hewan. Arif Budiman, kakak kandung Gie dalam acara Diskusi Sehari “Mengenang Seorang Demonstran: Peringatan 30 Tahun Soe Hok Gie” yang diselenggarakan Iluni FSUI (Ikatan Alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia) dan Mapala UI di kampus Universitas Indonesia, Depok bercerita Gie pernah mendapati seokor monyet diikat di pinggir jalan, karena kasihan melihat kondisi monyet yang sedang sakit Gie membeli Monyet itu dan dirawat hingga sehat kembali. Namun setiap kali hendak pergi kuliah, tugas perawatan diserahkan kepada sang kakak dengan pesan singkat, “Rief, jangan lupa kasih makan monyetku”. anehnya, monyet itu justru lebih bersahabat dengan Hok Gie daripada kakaknya.

Saat kuliah, Gie menjadi aktivis kemahasiswaan, walaupun dirinya saat itu sangat pantas menjadi Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) namun dia lebih mendorong sahabatnya, Herman Lantang untuk menduduki jabatan itu. Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI, yang kegiatan utamanya adalah naik Gunung, kegiatan itulah yang menghantarkanya ke kematian.
8 Desember 1969, atau seminggu sebelum Gie melakukan pendakian untuk yang terahir kalinya sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Itulah catatan firasat kematian Gie.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang, Jakarta. Pada Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pemakaman Kober sehingga makam Gie harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan wasiat Gie tersebut akhirnya tulang belulang Gie diangkat dan dikremasi kemudia abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Kumpulan Quote Gie
  • Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia. 
  • Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin. 
  • Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan. 
  • Saya kira saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata. 
  • Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan. 
  • Tak ada lagi rasa benci pada siapapun. Agama apapun, ras apapun dan bangsa apapun. Dan melupakan perang dan kebencian. Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik.
  • Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemuniafikan
  • Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada Berbahagialah dalam ketiadaanmu
  • "Seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda."